Saat Anda membayangkan alam semesta, mungkin yang terlintas adalah ruang yang sangat luas dan terbuka tanpa batas — infinite, sejauh mata bisa melihat. Namun penelitian terkini mengajak kita mempertimbangkan ide yang jauh lebih aneh: bahwa ruang-waktu kita mungkin memiliki bentuk terhubung kembali pada dirinya sendiri, menyerupai sebuah donat (atau dalam bahasa matematika “torus”) — suatu konsep yang disebut topologi tak trivial.
Konsep donat muncul karena sebuah donat (torus) adalah contoh klasik dari bentuk yang secara geometri bisa tampak “datar” tetapi secara topologi sangat berbeda dari permukaan bola. Pada permukaan donat, sebuah lintasan yang mengitari lubang tengahnya tidak bisa diperkecil (dikontraksi) hingga menjadi titik—karakteristik dari topologi tak trivial. Jika alam semesta kita memiliki topologi seperti itu, maka secara teoritis Anda bisa melakukan perjalanan ke arah tertentu, menempuh jarak sangat jauh dan akhirnya kembali ke tempat asal Anda tanpa pernah berbelok. Tapi tentu saja dalam kenyataan alam semesta yang mengembang, mekanisme seperti itu bukanlah perjalanan yang bisa kita lakukan dalam waktu manusia.
Para fisikawan seperti Glenn Starkman dan koleganya menerbitkan studi yang menyelidiki 17 kemungkinan topologi tak trivial untuk alam semesta dalam jurnal Physical Review Letters. Studi ini menemukan bahwa banyak bentuk topologi yang sebelumnya tidak dipertimbangkan ternyata belum benar-benar bisa dieliminasi oleh data pengamatan. Selama ini, pencarian bentuk “3-torus” sederhana (sebuah kotak yang sisi-nya saling terkait seperti layar video game Pac-Man) belum berhasil menemukan bukti, namun varian yang lebih kompleks dari topologi itu masih terbuka.
Mengapa ini menjadi topik yang serius dan bukan sekadar spekulasi fisik semata? Karena bentuk alam semesta—baik dalam hal geometri maupun topologi—memiliki implikasi fundamental bagi sejarah dan masa depan kosmos. Jika alam semesta tertutup dan terhubung kembali, maka ruang memiliki volume terbatas meskipun bisa sangat besar. Dalam kasus tersebut, Anda akan menemukan batas koherensi terhadap panjang gelombang fluktuasi dalam radiasi latar kosmik (CMB). Para peneliti telah melakukan pencarian lingkaran identik dalam peta CMB—yang seandainya alam semesta “melingkar”—akan terdapat pola yang muncul di lebih dari satu tempat di langit.
Adalah penting dicatat bahwa hingga saat ini, pengamatan belum mengungkap bukti definitif bahwa alam semesta memiliki topologi melingkar seperti donat tersebut. Namun kenyataannya bahwa banyak opsi topologi belum tertutup sepenuhnya. Banyak bentuk kosmik masih mungkin sehingga pencarian terus dilakukan menggunakan data CMB, distribusi galaksi, dan survei radio besar masa depan seperti Euclid Space Telescope atau Square Kilometre Array (SKA).
Pertanyaan besar yang muncul adalah: jika bentuk alam semesta memang seperti donat atau memiliki topologi tak trivial, bagaimana kita mendeteksinya? Para ilmuwan mencari dua jenis sinyal: satu adalah “lingkaran yang cocok” dalam peta CMB yang muncul karena dua jalur berbeda observer melihat bagian yang sama dari ruang-waktu yang “melingkar kembali”; yang kedua adalah korelasi tak biasa dalam distribusi galaksi atau struktur kosmik yang menunjukkan pengulangan pola di seluruh langit. Karena kita terbatas dari segi jangkauan pengamatan—pengamatan kita hanya hingga radius tertentu dari titik kita berada—banyak bentuk topologi akan berada di skala lebih besar dari apa yang bisa kita deteksi. Maka kegagalan menemukan pola bukan berarti bentuk melingkar dibuang sepenuhnya.
Bagaimana dengan konsekuensi filosofis dan kosmologis dari bentuk semacam itu? Jika Anda benar-benar hidup dalam alam semesta yang berbentuk donat raksasa, maka “ruang” yang kita anggap tak terbatas ternyata sangat mungkin terbatas—Anda bisa terkandung dalam volume tertentu dan suatu ketika kembali ke tempat semula. Pandangan ini mengubah makna “tak berhingga” yang sering diasosiasikan dengan alam semesta, dan mengubah perhitungan volume, jumlah total galaksi, serta model evolusi kosmik. Selain itu, hal ini juga berdampak pada teori awal alam semesta (inflasi), yang bisa mempertimbangkan kemungkinan bahwa ruang setelah Big Bang tidak hanya mengembang tapi juga mempunyai struktur topologi yang melekat.
Bagi pembaca Blogspot yang tertarik sains populer, gagasan bahwa alam semesta bisa bentuknya seperti donat adalah cara yang menarik untuk memahami bagaimana fisika modern menggabungkan matematika abstrak (topologi) dengan data observasi nyata. Meski terlihat konyol pada pertama pandang, ide ini adalah contoh nyata dari bagaimana ilmuwan tidak hanya menerka-nerka, tetapi membuat prediksi yang bisa diuji dengan data. Kita hidup di zaman ketika konsep seperti “ruang melingkar” atau “universe loops back on itself” bukan sekadar fiksi ilmiah, melainkan bagian dari pertanyaan serius dalam fisika kosmologi.
Daftar Referensi
Conover, E. (2024, May 13). The universe may have a complex geometry — like a doughnut. Science News. Retrieved from https://www.sciencenews.org/article/universe-geometry-doughnut-physics
Starkman, G. D., & Cornish, N. J. (2024). Complex topologies of the observable universe. Physical Review Letters, 132(18), 181001. https://doi.org/10.1103/PhysRevLett.132.181001
Planck Collaboration. (2020). Planck 2018 results: VI. Cosmological parameters. Astronomy & Astrophysics, 641, A6. https://doi.org/10.1051/0004-6361/201833910
Levin, J. (2002). Topology and the cosmic microwave background. Physics Reports, 365(6), 251–333. https://doi.org/10.1016/S0370-1573(02)00014-6
NASA. (2023). Cosmic Microwave Background (CMB): The echo of the Big Bang. Retrieved from https://science.nasa.gov/universe/cosmic-microwave-background/